Militer memiliki peran signifikan dalam politik Thailand bahkan dalam situasi populernya demokrasi saat ini. Berkali-kali militer Thailand melakukan kudeta manakala mereka nilai pemerintahan sipil “menyimpang” dari tujuan bernegara. Lalu bagaimana dengan militer dan politik Indonesia sendiri?


Militer dan Politik


Hal ini sesungguhnya tidak terlampau mencengangkan. Sekurangnya pada tahun 1960-an, sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat memprediksi kemunculan militer dalam politik di negara-negara berkembang. Kemunculan ini di antaranya akibat dua hal yang dijadikan dasar argumentasi. Pertama, mereka dibutuhkan oleh rakyat karena kelompok militer memiliki kemampuan membangun dan memordernisasi kehidupan bangsa dan negaranya. Kedua, kelompok militer dipercaya senantiasa membela kepentingan rakyat.

Peta Indonesia
Sumber Foto:
https://www.nationsonline.org/maps/Indonesia-Political-Map.jpg

Dengan kedua dalil tersebut pula maka analisis atas keterlibatan militer dalam politik Thailand dapat dilangsungkan. Hal ini juga dapat dikembangkan pada analisis serupa di seputar politik Indonesia.

Di Indonesia , reposisi TNI yang dicanangkan pada awal era Reformasi kini telah berusia  dua dekade. Masa dua dekade adalah periode panjang mengingat kini periode kepolitikan Indonesia cukup pendek. Eksekutif maksimal hanya bisa berkuasa 10 tahun (satu kali masa jabatan 5 tahun dikalikan 2). Belajar dari kasus Thailand, dapat saja dikembangkan analisis atas sejumlah faktor yang mendorong juga menghambat TNI ke atas panggung politik nasional Indonesia.


Studi Kasus Militer Thailand


Kasus Thailand ini menarik, karena kualitas bernegara mereka tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, militer Thailand cukup percaya diri, tidak ragu menghadapi kemungkinan kecaman dunia internasional karena melakukan kudeta damai. Hal ini hanya dimungkinkan apabila mereka memiliki argumentasi valid dan posisi tegas mereka sebagai “praetorian” negara sekaligus sebagai penjaga rakyat. Setelah kajian singkat atas militer Thailand (yang tentu saja tidak lengkap) sub selanjutnya akan membahas kondisi militer Indonesia.

Thailand adalah negara demokrasi, tetapi demokrasi yang mirip dengan Indonesia: penuh intrik dan hiruk-pikuk koalisi pecah-sambung. Perbedaannya RTA (Royal Thai Army) memiliki otonomi dan kekuatan di luar batas cengkeraman politisi sipil. [1] Thailand sama dengan Indonesia yaitu menyebut diri mereka sebagai penerap demokrasi, tetapi demokrasi mereka adalah demokrasi Thailand. Kalau Indonesia lebih mirip Demokrasi Liberal Barat. 

Di Thailand terdapat peran kepala negara, yaitu Raja sebagai simbol pemersatu aneka kelompok politik. Indonesia tidak memiliki kepala negara seperti Thailand sehingga figur pemersatu tunggal tidak ada melainkan tersebar di masing-masing kekuatan politik yang ada. Kesamaan dengan Thailand adalah di Indonesia militer memiliki posisi khas dalam sejarah politik negara. Tidak bisa Indonesia langsung mencangkok peran militer ala Amerika Serikat atau Inggris karena faktor sosiologis, ekonomis, dan historis militer Indonesia adalah khas. Salah satu hal yang terus menjadi polemik adalah istilah kurang tepat yaitu supremasi sipil atas militer. Istilah ini menempatkan militer dan sipil sebagai dua kompetitor dalam politik negara yang mungkin saja pas di Amerika Serikat tetapi tidak di Indonesia. Secara historis militer dan sipil Indonesia adalah dua kekuatan politik yang saling berkolaborasi, bukan satu sama lain saling mendominasi. 

Militer Thailand tidak terkooptasi oleh politisi sipil. Otonomi dan institusionalisasi di tubuh korps mereka membuat militer Thailand berani dan percaya diri dalam mengkoreksi perilaku politisi sipil dan hebatnya, tanpa pertumpahan darah. Militer seolah mendengarkan keluhan masyarakat sehingga kudeta yang mereka laksanakan pun memperoleh dukungan mayoritas rakyat Thailand. Indonesia pernah mengalami saat-saat seperti ini dalam periode akhir 1965 hingga 1968. Saat militer Thailand memandang bahwa politisi sipil sudah keluar jalur, memiliki vested-interest kelompok, dan melenceng dari apa yang seharusnya mereka perbuat, militer melakukan intervensi. Mereka membekukan pemerintahan sipil, mengambil alih kendali negara, lalu setelah bebeapa lama situasi mulai kondusif dan politisi sipil dinilai siap menyelenggarakan pemerintahan, Pemilu mereka selenggarakan. Militer kembali menyerahkan kekuasaan pada kelompok sipil, mundur sementara dari politik, untuk kemudian bersiap kembali apabila inkompetensi politisi sipil meruyak. 

Aneka kup militer di Thailand telah terjadi sebanyak 17 kali (sejak 1932 s.d. 1991), dan ditambah 2 kali lagi yaitu 2006 dan 2014. Dengan demikian total kudeta kup militer adalah 19 kali. Indonesia sendiri pernah mengalaminya yaitu bentuk intervensi militer atas politik sipil yaitu tanggal 3 Juli 1946 (penculikan Sjahrir), 17 Oktober 1952 (tuntutan militer agar parlemen dibekukan Sukarno), tahun 1957 saat pemberlakuan darurat negara, juga 11 Maret 1966 yang menginspirasikan Angkatan Darat untuk dominan dalam politik nasional. 

Namun, tahun 2000 militer Indonesia justru "mengembalikan" dirinya ke barak lewat formalisasi Paradigma Baru TNI. Jadi, militer Indonesia sesungguhnya lebih ‘lembut’ ketimbang Thailand. Bahkan, mayoritas warganegara Thailand jenuh dengan kup sehingga militer terpaksa menghentikannya sejak 1991. Namun, mayoritas warganegara Thailand kembali mendukung kudeta 2006 dan 2014 yang berlangsung tanpa pertumpahan darah. Suatu hal menarik dalam peristiwa 2006 dan 2014 sebab mayoritas warganegara Thailand justru mendukung militer membekukan pemerintahan sipil yang mereka pilih sendiri. 

Tahun 2006, militer mengkudeta PM Thaksin Sinawatra tanpa pertumpahan darah akibat kasus korupsi, mendeklarasikan martial law dan mengumumkan diri mereka sebagai pemerintahan interim. Tahun 2014 kembali militer melakukan kudeta atas Yingluck Shinawatra (adik perempuan Thaksin) akibat aneka faksi sipil bertikai tak berkesudahan yang dipicu sengketa konstitusi. Kali ini juga berlangsung tanpa pertumpahan darah. Pertanyaannya adalah mengapa militer Thailand bisa bertindak semacam itu?

Di Thailand ada sejumlah area yang tidak bisa disentuh politisi sipil terpilih yaitu Monarki, Majelis Pribadi Monarki, pengadilan, dan militer. Keempat lembaga ini tidak peduli dengan demokrasi, mereka berdiri di luarnya, tetapi punya kepentingan atas kehidupan politik Thailand. Asumsi utama keterlibatan militer ke dalam politik adalah apabila ada ancaman terhadap negara dan masyarakat. Prinsip militer Thailand adalah penjaga bangsa, penjamin keamanan, dan stabilitas. 

Sejarah militer Thailand pun mirip dengan militer Indonesia. Militer Thailand adalah bagian yang turut melahirkan bangsa Thailand. Sebelum kup 2006, politisi sipil menyerahkan sepenuhnya urusan pertahanan kepada militer. Salah satu isu yang kerap menjadi dalih keterlibatan militer Thailand ke dalam proses politik adalah penyelenggaraan negara oleh politisi sipil yang dianggap militer sebagai mismanajemen dan merugikan kesejahteraan rakyat.

Dalam kasus Thaksin 2006, keputusan kudeta militer tetap diambil kendati banyak petinggi di kabinet Thaksin punya latar belakang militer. Isu yang dihembuskan militer adalah bahwa masyarakat Thailand tengah terbelah, merebak kecurigaan luas terhadap korupsi di tubuh pemerintahan Thaksin, juga kehendak untuk pemulihan ketertiban dan kesejahteraan publik. Dalam kasus kudeta 2014, Jenderal Prayuth Chan-O-Cha, mendeklarasikan kup atas Yingluck Shinawatra dengan dalih mencegah jatuhnya korban jiwa dan eskalasi konflik, memelihara perdamaian dan keteraturan, dan menghindarkan Thailand dari chaos seperti terjadi di Suriah, Libya, dan Iraq.


Latar Historis Militer Indonesia


Bagaimana dengan Indonesia? Hubungan sipil militer di Indonesia cukup rumit dalam arti sulit untuk melakukan pengkaplingan di sini militer dan di sana sipil. Hubungan sipil militer Indonesia berkelindan, terjadi proses saling pengaruh setara antara kedua kutub politik. Sejak berdirinya negara, proses politik yang dilakukan Indonesia tidak lebih dari kolaborasi setara antara elemen sipil dan militer. 

Sebagai akibatnya, hubungan sipil militer di Indonesia adalah persoalan yang belum bisa dikatakan tuntas. Wujud kelindan rumit hubungan sipil militer bahkan pasca 1998 adalah asingnya konsep pensiun perwira militer . Di setiap usungan capres dan cawapres, faksi-faksi militer ada di setiap kubu capres dan cawapres. Elit militer, kendati sudah tidak aktif, masih memiliki jaringan pribadi mereka sendiri dengan perwira militer aktif. Hubungan senior-junior dalam militer tidak pernah lekang, sama halnya dengan hubungan senior-junior di kalangan politisi sipil. Selalu ada mentor dan selalu ada murid. Hubungan yang terjadi tidak merupakan patronase tunggal melainkan tersebar, dan inilah yang membuat militer Indonesia kurang bisa padu seperti Thailand. 

Peristiwa 3 Juli 1946 adalah intrusi militer atas politik negosiasi sipil yang dianggap lembek terhadap Belanda, dan pandangan ini pun dianut oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sjahrir diculik dan anasir militer dalam laskar yang dimotori Tan Malaka lewat Mayor Sudarsono menuntut pembubaran kabinet agar perang total terhadap Belanda bisa dilangsungkan secara leluasa, tanpa embel-embel politik akomodasional dalam aneka negosiasi Sjahir dengan Belanda. 

Juga, dari elemen pembentuk angkatan bersenjata Indonesia yaitu KNIL, PETA, dan Lasykar, hanya KNIL yang dapat berpikir dalam garis demarkasi urusan sipil-militer. Namun salah seorang tokoh militer alumni KNIL yaitu Jenderal Nasution justru mencanangkan konsep dwifungsi angkatan bersenjata. Selain KNIL, PETA adalah elemen pembentuk TNI yang berasal dari kaum bawah, besar jumlahnya, dan politis sifatnya. Demikian pula Lasykar yang justru adalah elemen pembentuk militer Indonesia yang merupakan sayap perjuangan bersenjata partai politik: Pesindo dari garis kiri dan Hizbullah dari sayap Masyumi. Dengan demikian dari raison d’etre nya, militer Indonesia sifatnya sudah politis, tersegmentasi dalam kelompok dan ideologi, dan ini terus berkembang hingga masa sekarang ini. Satu keyakinan yang mempersatukan aneka kelompok ini adalah militer memiliki hak untuk turut menentukan arah pengelolaan negara. Argumentasi inilah yang mendasari Nasution untuk mengajukan konsep middle-way.

Juga saat pemimpin sipil Indonesia habis ditangkapi Belanda dalam Agresi Militer II, dan pemerintahan pindah dari Yogyakarta ke Bukit Tinggi (PDRI), secara de facto pemerintahan sipil Indonesia bisa dikatakan tidak ada. Sukarno setelah penangkapannya menyatakan “Continue our struggle and believe that the ultimate victory is ours” dan dilanjutkan Hatta “the people must fight and and I am convinced that the entire population of Indonesia is prepared to take over the struggle form us.” [2]  Kelompok yang memimpin perjuangan kemudian adalah militer. 

Hanya elemen militer yang belum dihabisi Belanda, yang kemudian mereka ini bergerilya dan secara mengejutkan kembali menghadirkan de facto Indonesia lewat Serangan Umum 1 Maret 1949 yang merupakan kolaborasi antara Kolonel Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol Soeharto. Kendati hanya 6 jam menguasai Yogyakarta, serangan militer gabungan di bawah Resimen Soeharto membuktikan militer Indonesia masih ada dan siap mendepolitisasi klaim kemenangan Belanda atas pimpinan sipil Indonesia. Militer adalah sokoguru Republik Indonesia, saham historisnya tidak bisa dibantah. Dengan demikian wajar apabila Harold Crouch menyatakan bahwa “the Indonesian army has never restricted itself to an exclusively military role.” [3] 

Sejak 1945-1949 militer Indonesia terlibat dalam perjuangan fisik (perang) dengan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan. Kendati sempat sebentar ‘beristirahat’ sejak 1949, berlangsung Demokrasi Liberal yang hiruk-pikuk, mendorong militer kembali masuk politik tahun 1957, dengan pemberlakuan martial law. [4]  

Ini cukup mirip dengan Thailand, tetapi militer Indonesia lebih khas, mereka ikut menjalankan pemerintahan. Sejak 1957, militer Indonesia masuk ke ranah politik (hadir di parlemen), administratif (menjadi pejabat kepala daerah dan kementerian), serta ekonomi (memimpin BUMN). Konsep dasar middle-way Nasution tidak lahir begitu saja 1957, melainkan hasil refleksi panjang sejak berdirinya Republik: Sipil tidak bisa sepenuhnya diserahi tugas mengelola negara.

Apakah konsep middle-way Nasution? Ia adalah “to which the army would neither seek to take over the government nor remain politically inactive ... the military claimed the right to continuous representation in the government, legislature, and administration.” [5] Selama Demokrasi Terpimpin 1959-1965, militer terbiasa bahu-membahu dengan pemimpin sipil dalam mengelola negara. Setelah April 1965, middle-way ini semakin mapan lewat konsep dwi-fungsi ABRI, bahwa militer punya dua peran, yaitu peran militer dan peran sosial-politik. Selama Orde Baru, konsep ini berjalan secara konsisten sehingga Indonesia berhasil melakukan pembangunan ekonomi, menjamin stabilitas, menciptakan kelas menengah yang melimpah lewat pendidikan dan peningkatan kemakmuran. Namun, apa yang terjadi setelah 1998? 

Militer seolah terbuang begitu saja dari peran sosial-politiknya. Militer Indonesia dianggap seperti “pesakitan” dan “penular penyakit otoritarian.” Jargonnya adalah "militer harus kembali ke barak." Bagaimana mungkin ini bisa diterima secara rasional, padahal selama 1945 hingga 1998, militer adalah sokoguru penting republik, baik dalam konteks pertahanan, keamanan, maupun stabilisator sosial-politik negeri ini.

Modernisasi Indonesia sejak 1967 hingga 1998 adalah buah dari aneka seminar dan perencanaan pembangunan yang justru dimotori militer. Konflik militer-sipil tahun 1990-an dipicu oleh intervensi sipil atas pengadaan alat pertahanan. Jauh sebelumnya, justru teknokrat sipil dari aneka disiplin ilmu diundang oleh kelompok militer yang concern dalam memodernisasi bangsa ini. Keluarlah konsep Pembangunan Lima Tahun di awal Orde Baru, di mana Indonesia bisa melakukan pembangunan ekonomi secara sistematis, pembangunan sekolah, pembangunan jalan, pusat kesehatan, menstabilisasi potensi kekeruhan politik, dan menentukan arah negara melalui duduknya mereka di MPR dan DPR, juga eksekutif, sebagai alat kontrol euphoria politik kaum sipil yang hanya membela kepentingan parpol mereka. Stabilitas politik Indonesia dijamin oleh kelompok militer. 

Sejak tahun 1960-an, khususnya dalam Demokrasi Terpimpin, Indonesia adalah negara dengan personel militer di dalam pemerintahan, bukan negara dengan pemerintahan militer. [6] Di dalam benak militer Indonesia ada pemahaman mendalam bahwa pejabat sipil secara fundamental kurang kapabel dalam menjalankan negara. Ini akibat para pejabat sipil tersebut mudah terbelah dalam kepentingan yang sempit, sektoral, dan ideologis.. [7] 

Pandangan seperti ini lumrah dan pernah diutarakan oleh sejumlah jenderal besar seperti Sudirman, A.H. Nasution, dan Soeharto. Inilah maka pada 1992 setengah bupati di Indonesia adalah militer dan sepertiga dari gubernur provinsi adalah militer. Namun, akibat merenggangnya hubungan Soeharto dengan militer di pertengahan dan akhir 1990-an, militer harus berpikir ulang mengenai posisinya di dalam republik ini. Kingsbury menyatakan “ ... that the state of Republic of Indonesia is not viable without the active involvement of the TNI in its political and security activities, which are inextricably linked.” [8] 

Indonesia tidak memiliki sejarah khusus sebagai suatu komunitas politik yang homogen. Indonesia terdiri atas aneka komunitas politik yang relatif mandiri, sebelum mereka dirusak oleh Belanda. Setelah Indonesia merdeka, bahkan jauh setelah itu, militer-lah yang merupakan kekuatan kohesif untuk merekat aneka komunitas politik yang sangat bervariasi di seluruh wilayah yang kemudian dikenal sebagai Indonesia. Efektivitas negara Indonesia baru bergerak signifikan manakala terdapat unsur militer selaku penggeraknya.


… bersambung ke bagian 2


Catatan Kaki

[1] Lipikar Narayaem Lindman, Military Coups in Thailand: The Strategic Arguments to Justify a Democratic Setback (Uppsala University, Fall 2017) p. 4.

[2] O. G. Roeder, The Smiling General: President Soeharto of Indonesia, Second Revised Edition (Djakarta: Gunung Agung, 1970) p. 121.

[3] Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Singapore: Equinox Publishing, 2007) p. 24

[4] ibid.

[5] ibid.

[6] Damien Kingbury, Power Politics and Indonesian Military (London: RoutledgeCurzon, 2003) p. 7

[7] ibid.

[8] ibid. p. 12.