Seiring perkembangan Islam, semakin banyak penduduk yang berdatangan dari jazirah Arab, khususnya dari Hadramawt, jazirah Arab sebelah selatan ke Indonesia, seperti tampak pada gambar. [1] Hadramawt terletak di negara Yaman saat ini. 

Van den Berg menyatakan orang-orang Arab (Arabi, jamak: Arab) yang sekarang ini bermukim di nusantara kurang lebih berasal dari Hadramawt. [2] Sisa lainnya berasal dari Maskat (wilayah di tepi Teluk Persia), Yaman, Hijaz, Mesir, atau dari Pantai Timur Afrika. Sebelum dilakukan penjelajahan mengenai orang-orang Arab di Indonesia, terlebih dahulu akan dilihat struktur masyarakat Hadramawt.

Peta Wilayah Hadramawt (terkotak)

Masih menurut van den Berg, penduduk Hadramawt (di tanah asalnya) terbentuk dari empat golongan, yaitu: (1) golongan sayyid; (2) suku-suku; (3) golongan menengah; dan (4) golongan budak. [3] Golongan sayyid adalah keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad dan mereka ini bergelar Habib (jamak: Habāib) dan jika perempuan habābah. Kata sayyid hanya digunakan sebagai keterangan bukan gelar. Selain itu ada golongan syarif (jamak: asyrāf) artinya keturunan al-Hasan, cucu Nabi Muhammad, saudara al-Husain. Golongan sayyid berjumlah besar di Hadramawt, membentuk kebangsawanan agama, dan berpengaruh terhadap penduduk.

Suku-suku adalah golongan kedua. Awalnya mereka berkelompok dalam keluarga-keluarga (fakhīlah, jamak: fākhail) yang terpisah dan terdiri atas beberapa cabang (jamā’ah). Anggota suku disebut qabīli (jamak: qabāil). Kepala suku disebut Muqqadam, sedangkan kepala keluarga atau cabang disebut Abu. Muqqadam dan Abu adalah penguasa daerah, tinggal di sebuah puri, dan dijaga oleh garnisun yang terdiri atas anggota keluarganya. Muqaddam sebuah suku – yang dibentuk dari sejumlah keluarga sekaligus menjadi Abu dari keluarganya sendiri – biasanya adalah orang yang paling tua dan paling kuat di dalam suku itu.

Golongan menengah adalah penduduk bebas. Mereka bisa berasal dari desa dan kota. Golongan ini bukan anggota suku manapun, bukan sayyid, dan tidak menyandang senjata. Golongan ini terdiri atas: (1) Pedagang atau qarwī, jamaknya qarār; (2) Pengrajin atau ahl as-Sanāi; (3) Petani atau ja’īl, jamaknya ja’lah; dan (4) Pembantu atau khaddām, jamaknya akhdām. Profesi golongan menengah diturunkan dari orang tua kepada anak. Setiap profesi golongan menengah dipimpin seorang Abu dan sifat kepemimpinannya seumur hidup. Jika terjadi pertikaian mengenai hukum Islam, keputusan akhir penyelesaian diambil oleh Qadi, bukan Abu. Golongan menengah tidak punya organisasi politik karena sekadar ikut majikan mereka masing-masing. Demikian pula kondisi golongan keempat, golongan budak.

Perpindahan (migrasi) penduduk Hadramawt ke nusantara berkembang secara signifikan ketika Terusan Suez dibuka 1869 dan kapal-kapal uap sudah melayani jalur Timur Jauh – Arab sejak 1870. Di Indonesia – sekurangnya sejak 1886 – telah muncul koloni-koloni Arab di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. [4] 

L.W.C. van den Berg menyebutkan bahwa orang-orang dari Hadramawt cenderung melakukan asimilasi dengan penduduk lokal. Kesediaan asimilasi ini membuat mereka mampu menciptakan koloni yang cukup besar. Sejak 1886 terdapat terdapat enam koloni besar Arab, yaitu di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Di pulau Madura terdapat satu yaitu Sumenep.

Koloni di Batavia (Jakarta) merupakan koloni terbesar sejak 1844 sehingga pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya seorang kepala koloni. Sebelum terbentuk, koloni Arab di Batavia tinggal di wilayah pribumi (penduduk lokal) dan wilayah orang Benggali (pekojan). Lambat laun, wilayah pekojan lebih banyak diisi oleh orang-orang Arab. Sebagian Arab lain tinggal di wilayah Krukut dan Tanah Abang. Di Batavia juga mudah ditemui orang-orang Arab dari aneka wilayah di Hadramawt, lengkap dengan segala golongannya sementara sayyid adalah golongan yang minoritas.

Menurut Berg, koloni Arab di Cirebon mulai besar sejak 1845 sehingga perlu ditunjuk seorang kepala koloni. Otoritas kepala koloni Cirebon lalu berkembang hingga mengepalai seluruh anggota koloni dalam keresidenan Cirebon. Tahun 1872 berdiri koloni Arab di Indramayu terpisah dari koloni di Cirebon dan punya kepala koloni sendiri. Sama seperti di Batavia, wilayah yang awalnya dihuni orang Arab di Cirebon tadinya ditempati orang Bengali. Juga serupa dengan koloni Batavia, sangat sedikit golongan sayyid di koloni Cirebon.

Koloni Arab di Tegal tergolong muncul belakangan. Koloni ini baru memiliki seorang kepala koloni sejak 1883. Orang Hadramawt yang tinggal di Tegal berasal dari suku Nah, Kasīr dan Yāfi. Karena mayoritas berasal dari suku maka golongan sayyid di koloni Tegal relatif sulit ditemukan. 

Koloni Arab di Pekalongan tumbuh sejak 1819, dalam mana mereka memiliki ciri berbeda dengan koloni-koloni sebelumnya. Sebagian besar yang menetap di Pekalongan adalah golongan sayyid yang menikah dengan anak-anak perempuan para pemimpin pribumi lalu membentuk koloni yang cukup besar. Awalnya, mereka yang datang dari Hadramawt adalah para sayyid dan anggota keluarganya. Di Pekalongan ini, anggota koloni dari suku-suku Hadramawt justru sulit ditemukan. Di luar koloni, golongan campuran Arab Pekalongan tinggal di Krapyak, Kauman, Mpipitan, dan Ledok dan cenderung telah terasimilasi dengan penduduk pribumi.

Di Semarang, koloni Arab tumbuh sejak 1819 dan memiliki kepala koloni sejak saat itu. Di sini, orang Arab tidak menempati wilayah sendiri melainkan wilayah kaum Melayu yang sekaligus juga menampung orang Cina. Koloni Arab di Surabaya memiliki kepala koloni sejak 1832 dan merupakan pusat koloni-koloni Arab lain yang terdapat di wilayah timur pulau Jawa. Banyak golongan sayyid yang tinggal di koloni ini. 

Koloni lain di sekitar Surabaya adalah Banyuwangi (punya kepala koloni sejak 1856), Pasuruan (punya kepala koloni sejak 1860), Besuki (punya kepala koloni sejak 1869), Bangil (punya kepala koloni sejak 1873), Probolinggo dan Lumajang (keduanya punya kepala koloni sejak 1881). Koloni Arab di Besuki juga memayungi koloni Arab yang tinggal di Panarukan dan Bondowoso. 

Di Sumenep, koloni Arab memiliki kepala sejak 1832. Namun, koloni ini awalnya terbentuk karena kekaguman priagung Sumenep kepada orang Arab. Koloni Sumenep mengalami kemunduran karena pengenaan pajak yang tinggi oleh pemerintah daerahnya. Koloni Sumenep punya cabang koloni Pamanukan. Sementara koloni lain di pulau Madura, Bangkalan, merupakan cabang dari koloni Surabaya.

Di pulau Sumatera hanya terdapat dua koloni Arab yang besar yaitu di Aceh dan Palembang. Peluang orang Arab tinggal di Palembang dibuka oleh Sultan Mahmūd Badr ad-Dīn untuk menetap di ibukota negerinya. Koloni Arab di Palembang ini relatif makmur. Uniknya, tidak ada wilayah Arab secara khusus, melainkan tersebar di sepanjang Sungai Musi. Koloni Arab di Aceh paling banyak di antara koloni Arab manapun di kepulauan nusantara. Sama seperti di Palembang, mereka tidak memiliki wilayah khusus melainkan tersebar di aneka wilayah Aceh berbaur dengan pribumi. Di Kalimantan (Pontianak), Jambi dan Siak, Ternate, Makassar, Ambon, Padang, para pendatang Arab juga membentuk koloni

Natalie Mobini-Kesheh mencatat bahwa sejak akhir abad ke-19 di Indonesia, bermunculan elit-elit baru di kalangan Arab asal Hadramawt. [5] Kemunculan ini dimungkinkan karena kolonial Belanda begitu ngotot menciptakan strata dalam masyarakat Indonesia. Strata yang terbentuk di Indonesia pun selaras dengan keberadaan strata yang di Hadramawt, kendati terdapat sejumlah modifikasi. Stratifikasi sosial masyarakat Hadramawt di koloni-koloni Arab dipengaruhi oleh asal-usul golongan mereka di Hadramawt serta asal-usul keturunannya. Golongan tersebut adalah sayyid, mashā’ikh (cendekiawan) dan qabā’il (kepala suku), serta masākin (miskin dan pemukim) dan du’afā (lemah). [6]

Secara spesifik, sayyid dari Hadramawt mengklaim mereka adalah keturunan dari Ahmad bin `Isa al-Muhājir, turunan generasi ke-8 dari Fatimah, putri Nabi Muhammad. Ahmad berasal dari Basrah (Iraq) yang masuk ke Hadramawt tahun 952 masehi. 

Genealogi sayyid Ahmad adalah bin Isā bin Muhammad an-Naqīb bin Alī al-Uraidī bin Ja’far as-Sādiq bin Muhammad al-Baqir bin Alī Zain al-Abidīn bin al-Husain. [7] Di Hadramawt, kalangan sayyid sangat dihormati posisinya selaku guru agama Islam. Selain itu mereka seringkali bertindak sebagai mediator konflik antarsuku, dan karena enggan terlibat dalam penggunaan senjata, para sayyid makin dipercayai masyarakat. 

Bahkan, muncul anggapan sejumlah sayyid memiliki kekuatan supranatural sehingga makam-makam mereka dijadikan tujuan ziarah favorit. Para sayyid inilah yang menyandang sebutan sayyid (tuan) dan habīb (yang dikasihi). Ada kebiasaan mencium punggung telapak tangan mereka saat bersalaman. Penduduk dari strata bawah menghindari pernikahan dengan putri sayyid.

Mashā’ikh dan qabā’il adalah strata kedua dalam masyarakat Hadramawt di Indonesia. Mashā’ikh ini awalnya pemimpin agama di Hadramawt, tetapi secara evolutif posisinya tergeser akibat datangnya para sayyid. Kendati mereka (mashā’ikh) ini masih menjalankan peran kepemimpinan dalam masyarakat, posisi mereka inferior jika dibanding para sayyid, terlebih dalam hal upacara agama. Van den Berg menyebut keluarga yang term  asuk golongan mashā’ikh adalah Bāfadl, Bāhomaid, Bārajā, Bāharmī, Bāwazir, Bāsyo’aib, Bāmozahim, Bā’abad, bin Khatib, dan Zabdah. Keluarga Bāhomaid dan Bārajā adalah keturunan Anshār, penduduk Madinah di zaman awal Islam. [8]

Qabā’il adalah primus interpares dengan mashā’ikh, tetapi menjalankan peran yang berbeda. Mereka berasal dari suku-suku penakluk di tempat asalnya. Mereka juga kaum yang menyandang senjata. Kualitas strata mereka ditentukan oleh sharaf (kehormatan) yang berhubungan dengan kemampuan penggunaan senjata dan mempertahankan diri ditambah kemampuan melindungi aneka pihak yang meminta perlindungan kepadanya. Keluarga Kathīrī dan Qu’ayți merupakan contoh dari kalangan qabā’il.

Masākin dan du’afā kerap disebut secara bersama-sama dan mencakup strata Hadramawt yang jumlahnya paling banyak di Indonesia. Kedua kelompok ini kurang berhasil dalam melacak nenek moyangnya (silsilah, nasab). Kedua kelompok ini terbagi ke dalam kategori pekerjaan. Masākin terdiri atas kaum pedagang, pekerja seni, dan pengrajin kayu. Sementara du’afā adalah pekerja bangunan, pembuat tembikar, serta buruh lapangan.

Belanda kerap mencoba untuk membuyarkan strata masyarakat tradisional Hadramawt di Indonesia dengan cara mengangkat kalangan non-sayyid sebagai kepala koloni. Pengangkatan ini membuat kepemimpinan para sayyid mulai dipertanyakan. Akibat intervensi Belanda pula maka muncul elit-elit Hadramawt baru di Indonesia: Elit Hadramawt statusnya bukan lagi didasarkan keturunan melainkan kemajuan ekonomi dan kecendekiawanan (semangat belajar). Komparasi elit lama dan baru sekaligus mendialektikakan kalangan sayyid dengan non-sayyid.

Mengenai elit baru ini, Mobini-Kesheh mendialektikakan antara tokoh ‘Abdullāh bīn ‘Alwi al-‘Ațțās dengan Shaykh ‘Umar bin Yúsuf Manqúsh. ‘Abdullāh bīn ‘Alwi al-‘Ațțās mewakili golongan sayyid. Lahir di Batavia sekitar tahun 1850. Saat muda ia bersekolah di Mekah. Dari Mekah ia berkeliling Timur Tengah, India, dan dan Australia, sebelum akhirnya kembali ke Jawa. Di akhir abad ke-19, ia termasuk salah satu Hadramawt terkaya di Batavia. Properti al-‘Ațțās tersebar di penjuru Batavia. Pola pikir al-‘Ațțās cenderung modern, dengan bukti bahwa keempat anaknya dikirim bersekolah ke Turki dan Mesir, ketimbang ke Mekah ataupun Hadramawt. Keempatnya pun masing-masing berhasil menyelesaikan studi lanjutan di Eropa (Perancis, Belgia, Belanda dan Inggris) dalam bidang-bidang rekayasa, kedokteran, dan perdagangan. Tahun 1914 al-‘Ațțās mendirikan persekolahan al-‘Ațțās di Indonesia.

Elit dari kalangan non-sayyid direpresentasikan Shaykh ‘Umar bin Yúsuf Manqúsh. Karena keterbatasan pendidikan, maka masa muda ia habiskan berkeliling Jawa sebagai pedagang kecil. Lambat-laun usahanya berkembang menjadi besar. Tahun 1902 ia ditunjuk Belanda untuk menjadi kapitein Arab di Batavia, suatu posisi yang ia duduki hingga 1931. Tahun 1921 ia dianugerahi gelar Knight of the Order of Orange Nassau dan penghargaan ini mengindikasikan ia disukai pimpinan Kerajaan Belanda. 

Pergaulan Manqúsh lebih banyak terjalin dengan kalangan Eropa, baik yang berprofesi di pemerintahan maupun bisnis. Bisnis yang dikelola Manqúsh selalu melibatkan orang Eropa. Kedalaman hubungan dengan rekan Eropa-nya ia tunjukkan dengan mengundang mereka saat pernikahan putrinya. Undangannya tersebut tetap berlaku kendati dikritik oleh komunitas Arab lainnya. 

Dengan prestasinya, Manqúsh menjadi percaya diri. Ia berani menolak untuk menundukkan kepala, baik di hadapan orang Eropa maupun sayyid. Bahkan Manqúsh juga menolak mencium tangan seorang sayyid saat berjabat tangan. Organisasi al-Irshad adalah salah satu organisasi yang pembentukannya didukung Manqúsh ini.

Tanggal 4 Oktober 1934, Persatoean Arab Indonesia (PAI) dibentuk di Semarang. Organisasi ini bertujuan mempersatukan muwallad di Indonesia. Sifat keanggotaannya terbuka bagi setiap orang Arab yang lahir di Indonesia. Dalam PAI, turut bergabung al-Irshad yang non-sayyid maupun yang pro-sayyid seperti al-Rábițah al-‘Alawīyyah. [9] Organisasi ini sepakat bahwa Indonesia-lah, bukan Hadramawt, sebagai tanah air mereka. Kendati demikian, tetap terdapat perbedaan pendapat antara yang menekankan keindonesiaan dengan keHadramawtan, seiring pro kontra antara mereka yang mendukung al-Irshad ataupun pro-sayyid.


Catatan Kaki

[1] Peta diambil dari World Fact Book 2021. Perkiraan wilayah Hadramawt dibuat berdasarkan Frodde Fadnes Jacobsen, Hadrami Arabs in Present-day Indonesia: An Indonesia-Oriented Group with an Arab Signature (New York: Routledge, 2009) p. 9.

[2] L.W.C. van den Berg, Orang Arab di Nusantara (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010) h.1.

[3] ibid., h. 33. Jika belum diseling footnote, maka tulisan mengikuti sumber ini.

[4] L.W.C. van den Berg, Orang ..., op.cit. h. 95 – 110. Pembagian koloni mengikuti pendapat Berg ini.

[5] Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies 1900–1942 (New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 1999) p. 24 – 8.

[6] ibid.

[7] Nama-nama keluarga sayyid secara lebih lengkap seperti dikutip dalam Berg adalah Āl as-Saqqāf, Āl Bā’aqīl, Āl al-Aidrūs, Āl Musyiyyikh, Āl Taha, Āl as-Sāfī, Āl Ba’umar, Āl al-Munawwar, Āl bin Syihāb ad-Dīn, Āl al-Hadī, Āl al-Masyhūr, Āl az-Zāhir, Āl as-Sulabiyyah, Āl Mawlā ad-Dawīlah, Āl Moqaibil, Āl Mawlā Khailah, Āl bin Sahil, Āl bin Yahyā, Āl Bā’abūd, Āl al-Hindūan, Āl al-Mahjūb, Āl bin Qitban, Āl Bāsurrah, Āl al-Hudailī, Āl Aidīd, Āl Junaid, Āl asy-Syillī, Āl Barūm, Āl al-Muniffir, Al Hāmid, Āl asy-Syanbal, Al Bāsy-Syaibān, Al al-Musāwā, Āl al-Baitī, Āl Isma’īl, Āl Maknūn, Āl bin Barāhīm, Āl Basyumailah, Āl Tawīl, Āl Aqīl bin Sālim, Āl al-Attās, Asy-Syaikh Abū Bakr, Āl Abd al-Malik, Āl Hāsyim, Āl Sumait, Āl an-Nadir, Al Tāhir, Āl Husain al-Qārah, Āl al-Haddād, Al Bāfakīh, Al Bāfaraj, Āl Bābaraik, Āl al-Khunaimān, Al Bāhusain, Al Bā’alī, Al al-Hut, Āl al-Gaisah, Al al-Hāmil, Āl al-Bār, Al al-Kāf, Al Bāraqbah atau Bārqabah, Al-Haddār, al-Abū Futaim, al-Mutahhar, Al-Mudir, Al-Marzak, Al-Mudaihij, Al-Abū Numai, Al-Fad’aq, Al-Khird, Āl al-Jufrī, Āl al-Bīd, Āl-Bilfaqīh, Āl al-Qadrī, Āl as-Serī, Al Bāhārūm, Āl al-Habsyī, Āl asy-Syātirī, Āl Jamal al-Lail, dan Āl al-Muhdar. Data diambil dari L.W.C. van den Berg, “Orang ...” op.cit. h. 51-2.

[8] L. W. C van den Berg, Orang ... op.cit. h. 39.

[9] ibid., p. 128.