Demokrasi Liberal Pertama di Indonesia sekurangnya terjadi hingga tahun 1957. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Awal Oktober 1945 terjadi upaya mengganti sistem pemerintahan dari presidensil menjadi parlementer, menjadikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan legislatif - dilegalisasi tanggal 16 Oktober 1945 – yang pekerjaan sehari-harinya dijalankan oleh Badan Pekerdja KNIP dengan Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifuddin wakil ketua. [1] 

Pada 30 Oktober 1945 Badan Pekerdja mengusulkan – usul ini disetujui oleh Sukarno dan Hatta – dibentuknya partai-partai politik sehingga Indonesia akan menganut sistem multipartai. Partai-partai politik ini nantinya menjadi elemen pembentuk Dewan Perwakilan Rakyat yang pemilunya (direncanakan) dilaksanakan pada Januari 1946. [2]

Partai Nasional Indonesia (PNI) tanggal 22 Agustus 1945 menjadi partai resmi pemerintah, Masyumi berdiri 7 Nopember 1945 dan berhasil menghimpun organisasi-organisasi Islam nonpolitik (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Partai Sarikat Islam Indonesia), Partai Kristen Indonesia terbentuk 10 Nopember 1945, Partai Sosialis berdiri sebagai gabungan Partai Sosialis Indonesia Amir Sjarifuddin dan Partai Rakyat Sosialis Sutan Sjahrir, Partai Komunis Indonesia berdiri 7 Nopember 1945 di bawah pimpinan Mr. Mohammad Jusuf. [3]

Kendati masih muda, tipe sistem politik Indonesia sesungguhnya telah diarahkan para pendiri bangsa ke arah Demokrasi Liberal. Indikasi ini dapat dilihat dalam komposisi KNIP hingga Pebruari 1947, yaitu dari 200 anggota, 129 orang merupakan orang partai politik (PNI 45 orang, Masyumi 35 orang, Partai Sosialis 35 orang, Partai Buruh 6 orang, Partai Kristen 4 orang, Partai Katolik 2 orang, PKI 2 orang) dan 71 orang non partai (wakil komunitas Cina 7 orang, wakil komunitas Arab 2 orang, wakil komunitas Belanda 1 orang, sisanya adalah bekas anggota PPKI). [4] Pluralitas anggota KNIP ini juga tercermin dalam susunan kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946–27 Juni 1947) setiap menteri dibantu wakil menteri, di mana Masyumi diwakili 4 orang, Partai Sosialis diwakili 5 orang, PNI diwakili 3 orang, Kristen diwakili 1 orang (Dr. J. Leimena), dan 5 orang tanpa partai. [5]

Kemunduran Demokrasi Liberal
Sumber Foto:
https://cdn-japantimes.com/wp-content/uploads/2017/03/p12-hill-a-20170306.jpg

Namun, kecenderungan ke arah demokrasi liberal ini tidaklah dalam arti keterlibatan seluruh warganegara dalam menentukan pos-pos jabatan. Demokrasi liberal yang berlangsung saat itu sifatnya elitis, di mana elit-elit politik masing-masing partai saja yang langsung mewakili partai serta menegosiasikan keterwakilan mereka baik di dalam parlemen (parlemen ini sementara, namanya KNIP karena DPR belum ada) maupun kabinet tanpa melibatkan massa masing-masing. Pemilu yang awalnya direncanakan Januari 1946 juga tidak kunjung terlaksana karena konflik elit antara kubu-kubu Sukarno-Hatta (yang dianggap kolaborator Jepang) dengan kubu-kubu Sjahrir, Tan Malaka, laskar-laskar paramiliter, serta eks kolonial Belanda yang berupaya memperkeruh suasana.

Herbert Feith menulis sekurangnya era berpolitik konstitusional diawali sejak berakhirnya Perang Revolusi pada bulan Desember 1949 hingga bulan Maret 1957 ketika demokrasi liberal mengalami kebuntuan politik sekaligus merupakan awal masa Demokrasi Terpimpin. [6] 

Kabinet Hatta yang efektif Desember 1949–Agustus 1950, dibentuk berdasarkan prerogatif Presiden Republik Indonesia Serikat (Sukarno) dan terdiri atas unsur Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Kalimantan Barat, dan Negara Madura di mana dari total 16 orang pejabat menteri, 8 orang adalah nonpartai, 4 orang Masyumi, 3 orang PNI, dan 1 orang Parkindo. [7] Misi Hatta dalam kabinet ini adalah melakukan reorganisasi angkatan perang (banyak sekali laskar paramiliter saat itu yang harus ditertibkan) serta yang terpenting menyusun konstitusi baru untuk mengamandemen konstitusi RIS 1949. Konstitusi baru akhirnya disahkan 17 Agustus 1950 dan populer dengan sebutan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Patut juga disebutkan bahwa kabinet-kabinet yang tersusun pra 1955 tidaklah melalui proses pemilihan umum.

Natsir duduk sebagai perdana menteri dalam kabinet pasca UUDS 1950 yang beliau pimpin September 1950–Maret 1951. Natsir ini sekaligus mengawali lembaran baru Indonesia sebagai negara kesatuan. Feith menyebutkan bahwa dalam menunjuk anggota kabinet, Sukarno berdiskusi dengan elit-elit partai politik saat itu dan mengumumkan Kabinet Natsir, di mana terdapat 4 wakil Masyumi, 2 wakil Partai Indonesia Raya, 2 wakil PSI, 1 wakil Parindra, 1 wakil Katolik, 1 wakil Parkindo, 1 wakil PSII, 5 wakil non partai, ditambah 1 fraksi Demokrat. [8] 

Kabinet Natsir mencerminkan upaya kuat untuk membangun kohesi nasional bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kendati sangat berani karena tidak menyertakan elemen PNI ke dalam kabinetnya. Sikap Natsir ini mendapat kritik sekurangnya dari elit Masyumi sendiri seperti Sukiman, Jusuf Wibisono, dan Burhanuddin Harahap. Pada 20 Maret 1951, Natsir menghadapi boikot parlemen yang dimotori PNI, PSI, Partai Buruh, Partai Murba, serta sejumlah kalangan nonpartai di parlemen, disusul kemudian oleh PIR yang menarik dukungan atas Natsir serta mundurnya dua menteri (Wongsonegoro dan Leimena). Tanggal 21 Maret 1951, Natsir mengembalikan mandat pemerintahan kepada presiden Indonesia. [9] Isu Irian Jaya mulai muncul di masa Natsir memerintah.

Setelah kabinet Natsir resign Feith menerangkan bahwa Sukarno menugasi Mr. Sartono mempelajari koalisi nasional yang lebih luas, tetapi Sartono menemui kesulitan menjembatani friksi tajam antara Masyumi dan PNI. Akhirnya Sukarno mengumumkan dua nama, yaitu Sidik Djojosukarto (PNI) dan Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) untuk menyusun kabinet koalisi. [10] 

Tanggal 26 April 1951, Sukiman mengumumkan susunan kabinet (ia sendiri menjadi perdana menteri) dengan komposisi 5 wakil Masyumi, 5 wakil PNI, 2 wakil PIR, 2 wakil non partai, 1 wakil Katolik, 1 wakil Partai Buruh, 1 wakil Parkindo, 1 wakil Fraksi Demokratis, dan 1 wakil Parindra. [11] Wakil Masyumi yang masuk berada dalam garis dukungan ke Sukiman, sementara PNI dalam garis dukungan ke Suwirjo-Sartono. 

Di masa kabinet Sukiman ini pecah gerakan anti komunis, yang diantaranya dipicu pemberitaan Jawa Post bahwa ada konspirasi pendongkelan pemerintahan republik untuk digantikan pemerintah pro Uni Sovyet, yang diantaranya memanfaatkan etnis Cina di Indonesia. Massa dari kelompok Masyumi melakukan pembersihan terhadap anasir yang dicurigai pro Uni Sovyet. Bahkan, 16 anggota parlemen (utamanya dari PKI dan koalisinya) diambil malam hari dari tempat tidur, termasuk Abdullah Aidit (ayah Dipa Nusantara Aidit) yang menjadi anggota PRN. Sukiman mengumumkan bahwa pemerintah telah melakukan penahanan atas kubu-kubu yang bertikai hingga jumlah 15.000. [12]

Kabinet Sukiman mundur dan digantikan kabinet koalisi PNI-Masyumi lainnya: Kabinet Wilopo. Kabinet ini memerintah April 1952–Juni 1953. Wilopo dari PNI kini menjadi perdana menteri sementara Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi menjadi deputi perdana menteri. Komposisi kabinet terdiri atas wakil PNI 3 orang, Masyumi 4 orang, independen 3 orang, PSI 2 orang, Katolik 1 orang, Buruh 1 orang, PSII 1 orang, Parkindo 1 orang, dan Parindra 1 orang. [13]

Feith menulis bahwa pada masa ini, peran Nahdlatul Ulama mulai menguat, ditandai K.H. Faqih Usman dari NU menjadi menteri Agama, sehingga koalisi Masyumi yang terdiri atas Muhammadiyah dan NU perlahan mulai melemah. Di sisi lain, segregasi politik antara PNI dan PKI pun mulai menajam diawali pernyataan ketua PKI Ir. Sakirman bahwa PKI tidak mampu mendukung kabinet Wilopo. [14] Undang-undang pemilu disahkan 4 April 1953 di masa kabinet Wilopo ini di mana akan diadakan pemilu 2 putaran yaitu untuk MPR dan DPR dengan sistem pemilihan proporsional. Di masa Wilopo ini pula muncul fenomena revivalisme nativistik serta kebangkitan komunitas-komunitas politik lokal yang terjadi 5 bulan pertama tahun 1953 dan akhirnya Wilopo terpaksa menyerahkan mandat kepada presiden menyusul sebelumnya sejumlah peristiwa seperti berdirinya NU sebagai partai politik otonom (lepas dari Masyumi), mulai signifikannya PKI baik dalam ukuran dan pengaruh, serta efek dari pemberontakan tentara 17 Oktober 1952. [15]

Kabinet Ali I memerintah Juli 1953 hingga Juli 1955 menggantikan kabinet Wilopo. Dalam usia kabinet yang relatif lama ini ditandai menyusutnya kekuatan Masyumi karena NU kini menjadi fraksi tersendiri di parlemen. Sebaliknya, peran PNI menguat dan demikian pula PKI. Era Ali I juga ditandai aneka persiapan Pemilu 1955 meliputi kampanye dan konsolidasi partai-partai politik dengan basis massa mereka. 

Dengan demikian, kabinet Ali I ini menandai menguatnya peran partai-partai politik dan demokrasi liberal yang sesungguhnya. PNI menjadi pemimpin kabinet koalisi di mana Ali Sastroamidjojo (PNI) menjadi perdana menteri, Wongsonegoro (PIR) menjadi deputi 1 perdana menteri, dan Zainul Arifin (NU) menjadi deputi 2 perdana menteri. Komposisi keseluruhan kabinet adalah PNI diwakili 3 orang, PIR diwakili 3 orang, NU diwakili 3 orang, fraksi progresif diwakili 1 orang, PRN diwakili 1 orang, SKI diwakili 2 orang, BTI diwakili 1 orang, PSII diwakili 2 orang, Buruh diwakili 1 orang, Parindra diwakili 1 orang, dan 1 orang wakil non partai (M. Yamin). [16] 

Kekuatan Islam besar kini diwakili NU dan PSII, sementara Masyumi tidak memiliki wakil di kabinet dan menjadi oposisi. Politik luar negeri Indonesia seiring diselenggarakannya Konperensi Asia Afrika mulai agresif terhadap Barat. Peran angkatan bersenjata mulai menguat. Dukungan angkatan bersenjata beralih ke pihak Masyumi dan PSI.

Dukungan atas Masyumi dan PSI oleh militer adalah penting mengingat Indonesia akan mengadakan pemilu raya pertamanya di tahun 1955. Kabinet Burhanuddin Harahap terbentuk dan memerintah Agustus 1955 hingga Maret 1956, di mana perdana menteri berasal dari Masyumi (Burhanuddin Harahap), deputi 1 perdana menteri dari PIR-Hazairin (Djanu Ismadi), dan deputi perdana menteri 2 dari PSII (Harsono Tjokroaminoto). 

Komposisi keseluruhan kabinet Burhanuddin Harahap adalah 4 orang dari Masyumi, 2 orang PIR-Hazairin, 2 orang PSII, 1 orang fraksi demokratik, 2 orang NU, 2 orang PSI, 1 orang PIR, 1 orang Katolik, 2 orang PRN, 2 orang Buruh, 2 orang Parindra, 1 orang Parkindo, dan 1 orang Partai Rakyat Indonesia.[17] Burhanuddin Abdullah dan kabinetnya sukses menyelenggarakan pemilu pertama Indonesia kendati tidak menghasilkan mayoritas parlemen di mana empat partai terbesar dan persentase suara diperoleh adalah PNI cuma 22,3%, Masyumi cuma 20,9%, NU cuma 18,4%, dan PKI cuma 16,4%. Harus dibangun koalisi baik di parlemen maupun kabinet.

Burhanuddin berada dalam posisi sulit karena tidak mengikutsertakan PNI sementara partai tersebut menguasai 22,3% suara pemilu. Secara kumulatif perolehan suara partai-partai politik dari kantung-kantuang suara di daerah-daerah pemilihan pulau Jawa adalah PNI memperoleh 85,97% suara, NU 85,6%, dan PKI 88,6% suara. Sebesar 51.637.552 pemilih ada di pulau Jawa dari total pemilih tercatat 77.987.879. Masyumi hanya memperoleh 51,3% total suaranya dari Jawa dan 48,7% dari daerah-daerah pemilihan luar Jawa. [18] Pembelahan masyarakat berdasar tajamnya garis pisah ideologi semakin mengentara. Kabinet Burhanudin Harahap akhirnya tumbang dan kabinet Ali II hadir menggantikannya.

Kabinet Ali II memerintah Maret 1956–Maret 1957. Dalam kabinet terakhir Demokrasi Liberal I ini, Ali Sastroamidjojo dari PNI menjadi perdana menteri, Mohammad Roem (Masyumi) menjadi deputi I perdana menteri, dan Idham Chalid (NU) menjadi deputi II perdana menteri. Komposisi kabinet Ali II terdiri atas 6 orang PNI, 5 orang Masyumi, 5 orang NU, 2 orang PSII, 2 orang Parkindo, 2 orang Katolik, 1 orang IPKI, 1 orang nonpartai, dan 1 orang Perti. [19] 

Wakil-wakil PKI tidak duduk di dalam kabinet (menjadi oposisi). Negara Indonesia dilanda manuver-manuver kedaerahan anti Jawa (revivalisme nativistik), anti Cina, anti PNI, penyelundupan oleh anasir militer, serta pembangkangan militer di daerah-daerah luar Jawa. Muncul upaya mencari format baru pemerintahan Indonesia yang tidak berciri Demokrasi Liberal melainkan berciri Demokrasi yang lebih Indonesia. Angkatan Darat, diwakili Nasution, mulai gelisah melihat gejala disintegrasi nasional dan mendesak Sukarno untuk menciptakan stabilitas politik. Akhirnya, tanggal 14 Maret 1957 Ali Sastroamidjojo resign dan mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Sukarno. Secara politis, pengaruh Sukarno menguat sejak saat itu ditambah lagi pihak angkatan bersenjata berdiri di belakang Sukarno dan siap mendukung konsep Sukarno untuk membangun Dewan Nasional.

Catatan Kaki

[1] George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Cetakan 2 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) h. 193-4. KNIP bertugas membuat undang-undang bersama Presiden.

[2] Umum diketahui, tidak ada pemilu pada Januari 1946.

[3] George McTurnan Kahin, Nasionalisme ..., op.cit. h. 195-8. Kahin menjelaskan, basis dukungan PNI adalah pejabat pemerintah aristokrat maupun non aristokrat, petani (berbagi dengan Masyumi). Masyumi dalam tempo setahun berhasil mengalahkan PNI, dengan basis dukungan petani beragama Islam, pemimpin agama Islam di Jawa, Sumatera, dan Madura, kelas menengah pedagang, juga kaum pemilik tanah. Partai sosialis massanya kecil tetapi didukung peranakan Cina pro republik, kaum intelektual muda. Partai Komunis Indonesia yang didirikan Mohammad Jusuf tidak mendapat dukungan dari kalangan komunis pro Stalin.

[4] George McTurnan Kahin, Nasionalisme ..., op.cit. h. 243.

[5] ibid., h. 245.

[6] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, 2007) p. xi.

[7] Herbert Feith, The Decline ..., op.cit., p. 46-7.

[8] ibid., p. 150.

[9] ibid., p. 151.

[10] ibid., p. 179. Sukiman dari Masyumi lebih diterima oleh PNI.

[11] ibid., p. 180.

[12] ibid.

[13] ibid., p. 228-9.

[14] ibid.

[15] Peran Sukarno menguat signifikan pasca peristiwa Oktober 1952.

[16] Herbert Feith, The Decline ..., op.cit., p. 338-9.

[17] ibid., p. 418-9.

[18] ibid., p. 437.

[19] ibid., p. 470.