Fase singkat kediktatoran militer Indonesia terjadi setelah gagalnya pengambilalihan kekuasaan tanggal 30 September 1965. Tanggal 1 Oktober 1965 terjadi upaya penyelamatan negara oleh Dewan Revolusi. Dekrit Dewan Revolusi ditandatangani Letnan Kolonel Untung (komandan Gerakan 30 September), Brigadir Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel (udara) Heru Atmodjo, Kolonel (laut) Ranu Sunardi, dan Ajun Komisaris Senior (polisi) Anwas Tanuadidjaja. 

Untung adalah ketua dewan sementara penandatangan lainnya adalah deputi. Mereka mengeluarkan daftar nama Dewan Revolusi yang menyebutkan bahwa kabinet Dwikora tetap aktif (kecuali Chaerul Saleh), dan daftar tersebut tidak berisi nama Sukarno.[1] Mayor Jenderal Suharto membalas dengan statement bahwa Dewan Revolusi adalah Kontra Revolusi dan Anti Sukarno. Beliau segera mengerahkan pasukan Kostrad untuk melakukan pembersihan hingga ke pangkalan Angkatan Udara di Halim Perdanakusumah. Gerakan 30 September begitu cepat dilumpuhkan.

Tentara Berbaris
Sumber Foto:
https://images.theconversation.com/files/151291/original/image-20161221-4090-5g0zal.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1200&h=675.0&fit=crop

Namun, sejarah 30 September 1965 menciptakan efek panjang dan buram bahkan hingga artikel ini ditulis. Hanya tersedia sejumlah hipotesis dalam menjelaskan peristiwa tersebut yang di antaranya banyak bersumber dari karya Harold Crouch yang dikutip selanjutnya. [2] 

Hipotesis Pertama menyebutkan PKI adalah dalang dari coup d’etat yang dilakukan Dewan Revolusi dan ini adalah versi resmi Angkatan Darat yang memegang kekuasaan pasca tumbangnya Sukarno. 

Hipotesis Kedua menyatakan PKI tidak punya peran dalam perencanaan kudeta dan penjelasan ini diwakili Ben Anderson dan Ruth McVey, dimana Anderson and McVey berpendapat bahwa Gerakan 30 September 1965 tidak lebih merupakan konflik internal di tubuh Angkatan Darat di mana perwira menengah muda di Jawa kecewa dengan para perwira militer di Jakarta yang berperilaku koruptif dan tidak menyokong mereka yang tengah berkonfrontasi melawan Malaysia di perbatasan Kalimantan. Bagi Anderson dan McVey, PKI tidak perlu melakukan kudeta karena mereka dalam posisi aman, menguasai birokrasi, dan dekat dengan Sukarno.

Hipotesis Ketiga menyatakan kudeta dilakukan atas jaminan dari Sukarno, yang diantaranya diajukan A.C.A. Dake berdasarkan testimoni Mahmilub dari ajudan Sukarno, Kolonel Bambang Widjanarko. Sukarno merestui apa yang akan dilakukan oleh Letnan Kolonel Untung untuk melakukan pembersihan Dewan Jenderal. 

Hipotesis Keempat diajukan oleh W.F. Wertheim yang menyatakan bahwa otak Gerakan 30 September adalah Sjam, dan Sjam ini merupakan agen Angkatan Darat yang fungsinya memprovokasi PKI. Wertheim menolak kemungkinan Sjam sebagai agen PKI. Lewan Sjam, Angkatan Darat mencekoki Aidit dengan isu Dewan Jenderal dan perwira menengah progresif tersedia untuk mendahului pembasmian atas Dewan Jenderal tersebut. Sjam menciptakan kondisi yang memadai agar tersedia cukup legitimasi bagi Angkatan Darat untuk membasmi PKI hingga ke akar-akarnya.

Kediktatoran militer adalah periode transisi. Kediktatoran militer resmi berlaku sejak 11 Maret 1966 saat Sukarno menandatangani Surat Perintah yang memberi kewenangan besar kepada Mayor Jenderal Suharto untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan nasional. Umum diketahui bahwa setelah surat ini, terjadi creeping coup atas kepemimpinan Sukarno yang klimaksnya terjadi ketika pada Maret 1967 beliau dicopot dari segala jabatannya. 

Peristiwa ini dikelilingi pembersihan berdarah yang dilakukan massa anti PKI yang melakukan pembersihan orang-orang yang dicurigai terlibat Partai Komunis Indonesia. Pembersihan ini menelan 200.000 hingga 300.000 nyawa. Kejayaan PKI di masa Demokrasi Terpimpin habis tanpa sisa. Konsep dwifungsi ABRI seperti digagas Nasution 11 Nopember 1958 segera memiliki media aktualisasinya, dan terus menjadi trend umum pemerintahan hingga transisi politik 1998.

Bagi Nasution – mencontoh negara-negara Amerika Latin – tentara bukan hanya penonton. Tentara di Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan menegakkan republik, membasmi pemberontakan dan separatisme, dan sebab itu harus diakomodir keberadaannya bukan hanya pada Dewan Nasional (bentukan Sukarno) melainkan di Dewan Perancang Nasional, korps diplomatik, DPR, dan di badan-badan pemerintahan lainnya dan lebih lanjut Nasution memperingatkan ... jika hal itu tidak dipenuhi mungkin tentara akan melakukan reaksi menggunakan kekerasan terhadap diskriminasi para perwira militer.[3] Saham angkatan bersenjata Indonesia cukup besar dalam penentuan nasib Indonesia, khususnya tatkala para pemimpin politik sipil menyerah pada Belanda sementara Jenderal Sudirman memilih terus berjuang menegakkan kedaulatan negara dengan perang gerilya.

Pada hakikatnya, peralihan kekuasaan pasca Sukarno sepenuhnya dikendalikan sebuah junta militer dengan Suharto sebagai pusat strategi karena ia memegang mandat Supersemar dari Sukarno. Hampir tidak ada politisi sipil yang berpengaruh di dalam peralihan kekuasaan yang sangat cepat ini. Kendati demikian, Suharto tidak bisa sama sekali meninggalkan politisi sipil di mana pada 27 Maret 1966 kabinet baru tercipta dan mencerminkan triumverat Suharto – Adam Malik – Sultan Hamengkubuwono IX. Suharto tetap memperhatikan perimbangan politik di kalangan sipil dengan tidak membumihanguskan PNI melainkan sekadar membersihkan PNI dari anasir pro Sukarno dan PKI. [4] PNI ini tetap diperlukan Suharto untuk mengimbangi potensi Islam politik yang baru memperoleh kemenangan pasca runtuhnya PKI.

Suharto menempatkan perwira-perwira militer di dalam posisi-posisi strategis. Strategi ini dinamakan praetorianisme yaitu tentara penjaga yang awalnya bertugas menjaga kaisar kini malah menumbangkan kaisar dan mengendalikan proses penunjukan penggantinya. [5] 

 Hingga tahun 1971 ketika Pemilu pertama Orde Baru diadakan, prakondisi untuk melakukan autogolpe sudah dilakukan sepenuhnya oleh Suharto sehingga MPR yang nantinya terbentuk dipastikan sepenuhnya ada di bawah pengaruh Suharto. Autogolpe ini dilakukan Suharto lewat dukungan yang ia bangun dan dikenal dengan nama kelompok inti dalam dan kelompok inti luar. [6] Suharto mulai 1971 tidak lagi memerintah sebagai seorang militer melainkan seorang militer yang berjubah sipil. Suksesnya Pemilu 1971 menandai akhir dari Kediktatoran Militer untuk kemudian sistem politik Indonesia memasuki periode panjang Otoritarian Kontemporer II.

Catatan Kaki

[1] Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, 2007) h. 97-8.

[2] ibid., p. 101-6. Keempat hipotesis yang kemudian dipaparkan diambil dari sumber ini. Setelah transisi politik 1998, banyak sekali buku yang coba kembali menelusuri sejarah gelap ini, tetapi umumnya tidak terlalu jauh dari keempat hipotesis atau modifikasi-kombinasi atas keempat hipotesis ini.

[3] David Jenkins, Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (Depok: Komunitas Bambu, 2010) h. 3.

[4] M.C. Ricklefs, Sejarah Nasional Indonesia Modern 1200 – 2004 (Jakarta: Serambi, 2008) h. 571.

[5] David Jenkins, Soeharto ..., op.cit., h. 23.

[6] Pembahasan kedua kelompok ini dilaukan di tulisan-tulisan selanjutnya.