Rezin Otoritarian Kontemporer pertama Indonesia sekurangnya secara resmi terjadi manakala Presiden Sukarno pada Pebruari 1957 melontarkan isu perlunya pelibatan unsur ekstraparlementer guna duduk di pemerintahan. 

Situasi negara saat itu cukup chaos di mana sentimen etnis, garis Jawa-Luar Jawa, faksionalisasi di tubuh militer, serta manuver-manuver gerakan massa yang menggunakan ideologi saling berbenturan di level horisontal. Kondisi ini pula yang memicu Kabinet Ali II terpaksa menyerahkan mandat kepada Sukarno pada Maret 1957. Sukarno kemudian mulai membangun basis politik baru ketika era kekuasaan partai-partai memudar yang disandarkan pada angkatan bersenjata (terutama angkatan darat) dan PKI untuk mengimbangi angkatan bersenjata.

Nasution sebagai kepala staf angkatan bersenjata mulai membicarakan konsep dwifungsi sekurangnya sejak 1958. Baginya, peran angkatan bersenjata di Indonesia berbeda dengan di negara-negara barat di mana angkatan bersenjata sekadar alat pemerintahan sipil untuk mempertahankan wilayah. Pendapat Nasution semakin signifikan mengingat situasi Indonesia saat itu yang banyak menemui konflik-konflik regional. Militer lambat-laun mengisi jabatan-jabatan yang sebelumnya biasa ditempati politisi sipil.

Demokrasi Otoritarian
Sumber Foto:
http://archive.discoversociety.org/wp-content/uploads/2016/05/OV-Vijayan-2-640x300.jpg

Menurut Daniel S. Lev, gagasan Sukarno tentang Dewan Nasional yang disuarakan pada rentang 1957 – 1958 merupakan basis bagi Demokrasi Terpimpin. Dewan yang terdiri atas representasi seluruh golongan yang ada di Indonesia merupakan pengganti bagi parlemen hasil pemilu. Sukarno menunjuk Djuanda (orang non partai) untuk mengepalai kabinet dan netralitas Djuanda mendorong PNI, NU, dan Masyumi melakukan backup atas sikap profesional dan jujur dari tokoh asal tatar Pasundan ini kendati dukungan tersebut agak samar. [1]

Pemerintahan Djuanda efektif 9 April 1957 hingga 6 Juli 1959 dan merupakan transisi dari demokrasi liberal yang meredup menjadi otoritarian kontemporer di mana Sukarno tetap memilih memerintah secara tidak langsung. Di sisi lain, Djuanda masih berkomitmen bahwa kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen. [2] Periode efektif Demokrasi Terpimpin sendiri terjadi sejak 5 Juli 1959, yang menurut Hindley Demokrasi Terpimpin sendiri adalah: [3]

... is the system by which power is maintained by the present central ruling group in Indonesia. The group consists of two main forces, President Sukarno and the central army leadership; a small number of close civilian collaborators unassociated with any particular party, such as First Deputy Prime Minister Djuanda; and several persons associated with political parties but acting largely independently of them as advisors and practitioners for the more eminent members of the ruling elite.

Sukarno dan angkatan darat adalah dua sokoguru terpenting demokrasi terpimpin. Kelak, ketika dukungan dari Nasution dianggap menurun, Sukarno menggantinya dengan Ahmad Yani pada pertengahan 1962. Nasution dimutasikan ke dalam jabatan yang tidak memiliki kewenangan operasional pasukan tempur (menjadi Menhankam) sehingga Sukarno lebih leluasa mempraktekkan konsepsinya mengenai bagaimana seharusnya Indonesia dimanajemen. Era ini menandai berlakunya Otoritarianisme Kontemporer I dalam sistem politik Indonesia.

Angkatan bersenjata memiliki musuh alamiah yaitu PKI, sebuah partai yang track record-nya kurang baik karena pernah terlibat dalam pemberontakan di tahun 1948. Selain itu, PKI memposisikan kalangan pimpinan tinggi angkatan bersenjata sebagai kelas kapitalis yang menjadi sasaran revolusi sosialnya. Dengan demikian, ketika Nasution menjabat posisi nonteknis PKI mulai merapatkan diri dengan kekuasaan Sukarno dengan mendukung politik-politik konfrontatif Sukarno yang anti Amerika Serikat, anti Inggris, condong ke blok komunis, ataupun berpendulum nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Namun, angkatan bersenjata pun sesungguhnya tidak kurang loyalitasnya kepada Sukarno yang dibuktikan lewat dukungan penuh mereka dalam perebutan Irian Barat dari Belanda tahun 1963.

Meningkatnya kekuasaan Sukarno ini dapat disebut dengan autogolpe. Autogolpe adalah kondisi saat presiden (atau perdana menteri) yang tengah menjabat menambah kekuasaannya, kerap dengan dukungan militer, untuk kemudian melakukan subordinasi atas kewenangan legislatif serta cabang-cabang pemerintahan agar dapat memerintah tanpa adanya oposisi. [4] Autogolpe berbeda dengan kudeta (coup d’etat). Jika kudeta dilakukan lewat penumbangan pemerintahan yang sah, maka autogolpe dilakukan oleh seorang pejabat pemerintahan yang sah dengan mensubordinasi kekuasaan cabang pemerintahan lain. Apa yang dilakukan Sukarno mencerminkan autogolpe tersebut.

Catatan Kaki

[1] Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesia Politics 1957 – 1959 (Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd, 2009) p.201-2.

[2] Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia 1951 – 1963 (London: Cambridge University Press, 1966) p. 263.

[3] ibid., p. 276.

[4] Henry A. Dietz, Autogolpe dalam George Thomas Kurian, eds., The Encyclopedia of Political Science, (Washington: CQ Press, 2011) p. 107