Salah satu tuntutan pasca transisi politik 1998 yang kerap menggema di Indonesia adalah “militer harus kembali ke barak.” Persoalannya, apakah itu rasional mengingat sejarah panjang keterlibatan militer dalam aneka sendi kehidupan bangsa dan administrasi negara Indonesia?


Reposisi TNI, Mungkinkah?


Apakah jargon tersebut sekadar ‘menjiplak’ negara-negara Barat yang memiliki akar sejarah militer dan politik sehingga mendorong mereka menempatkan militernya di barak? Juga, dari mana sesungguhnya reposisi ini disuarakan di Indonesia?

Reposisi TNI bukan hal mudah untuk dilaksanakan oleh bangsa ini, sama seperti jargon demokrasi. Apakah demokrasi membuat Indonesia semakin kohesif dan maju atau malah membuat kemunduran dengan banyaknya parpol yang dikuasai pemodal ‘entah dari mana’ pada saat ini. Indonesia pasca 1998 seolah bergerak limbung, dan ada kemungkinan salah satu faktornya adalah ‘kenekatan’ sejumlah elit sipil dan militer negara ini untuk mengesampingkan peran militer dalam menjalin kohesi, stabilitator, dan dinamisator politik nasional.

Sekadar contoh, begitu Indonesia meneriakkan jargon militer kembali ke barak, meletakkan jaminan keamanan hanya kepada polisi, berapa banyak teror bom terjadi di Indonesia. Padahal, militer adalah pihak yang paling berpengalaman dalam masalah pertahanan (terorisme adalah masalah pertahanan, bukan keamanan), dan di situlah posisi militer berada. Namun, apakah dominasi sipil pasca 1998 mau untuk secara realistis memandang masalah pertahananan ini dan berbesar hati untuk kembali memposisikan militer sebagai tandem pengelolaan negara. Jawabannya adalah belum, bukan tidak mungkin.

Secara teoretis, ada klaim yang secara konsisten disuarakan bahwa TNI selalu mendasarkan tindakan mereka dalam aras kepentingan nasional negara sekaligus ekspresi kehendak publik. [9] Kehendak publik di sini perlu dipahami dalam pemahaman volonte generale seperti dimaksudkan Rousseau. Ini tidak terkait dengan konsep demokrasi, karena konsep ini bahkan hingga kini masih absurd dipahami oleh para elit pusat maupun daerah. Hirarki militer pasti tidak demokratis, dan demokrasi bukan satu-satunya pemerintahan yang mungkin dipilih oleh suatu negara. Selalu ada pilihan jenis pemerintahan lain, seperti misalnya Otoritarianisme. Otoritarianisme ini pun tidak selalu buruk, karena ia memiliki kebaikan pada hal simplisitas pembuatan kebijakan, penetrasi kebijakan, dan stabilitas politik jangka panjang.

Repositioning
Sumber Foto:
https://www.jojonomic.com/wp-content/uploads/2020/11/reposition02-1024x653.jpg

Ada sederet panjang saham TNI terhadap tegaknya Republik Indonesia. TNI -lah, bukan sipil, yang leading dalam revolusi fisik melawan Belanda 1945-1949. TNI pula, bukan politisi sipil, yang memastikan pengendalian pemberontakan Darul Islam yang bermasa panjang yaitu dari 1949 – 1963. Juga, TNI  lewat Brigade Garuda Mataram Soeharto yang menekan pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan tahun 1950. Di tahun yang sama, TNI pula yang meredam pemberontakan Republik Maluku Selatan tahun 1950. Elemen-elemen TNI pula yang punya peran krusial dalam menasionalisasi bisnis Belanda di Indonesia sejak 1957. Tahun 1958, TNI meredam pemberontakan PRRI-Permesta di Sumatera dan Sulawesi, pemberontakan yang disokong Amerika Serikat lewat CIA.

Atas refleksi TNI terhadap sejumlah peristiwa di atas, maka mereka mematangkan konsep Nasution (middle-way) tahun 1958 dan sanggup bertahan hingga 1999. Papua Barat masuk Indonesia, bukan semata akibat lobi Amerika Serikat, tetapi lobi tersebut hanya terjadi setelah Panglima Mandala Mayjen Soeharto memutuskan pertempuran besar-besaran di Biak (basis Belanda), dan proses ini berlangsung 1962-1963. [10] Keputusan ini berakibat PBB ikut campur, AS menekan Belanda, dan Papua Barat de facto masuk Indonesia dengan plebisit direncanakan 1969. Keterlibatan lain TNI dalam politik Indonesia adalah melakukan nasionalisasi atas perusahaan Inggris tahun 1962 dan Amerika Serikat tahun 1965.

TNI  juga berperan besar dalam melakukan pembasmian atas anasir komunis sepanjang 1965-1967, dan aneka kampanye setelahnya sehingga komunis tidak lagi mendapat tempat di bumi Indoenesia. Peran krusial lain TNI adalah memasang Mayjen Soeharto sebagai presiden yang prosesnya berlangsung sejak 1966-1968 dan memudarkan potensi politik Sukarno sejak 1965-1967. TNI pula yang merupakan kekuatan nyata yang mendirikan Golkar, sehingga organisasi tersebut mampu menjamin stabilitas parlemen dan eksekutif Indonesia selama Orde Baru. Militer Indonesia juga secara aktif menerapkan doktrin ‘teritorial’ yang serupa dengan fungsi sipil hingga ke tingkat desa guna melibatkan diri dalam aneka proyek pembangunan fisik bangsa.

Pasca 1998, setelah tampuk eksekutif negara beralih ke Habibie, ada spekulasi bahwa Wiranto (Panglima TNI) akan melakukan kup. Kup ini mendapat angin dari Soeharto sendiri yang membekali Wiranto dengan semacam ‘supersemar.’ Angin pun diperoleh dari Edi Sudrajat dan Try Sutrisno. 

Pilihan kup ini cukup populer di kalangan militer senior mengingat mereka relatif telah mempelajari lemahnya sipil dalam mengatur negara. [11] Hanya saja Wiranto punya pertimbangan lain, dan mendesak Habibie untuk melakukan smooth transition dengan segera menyelenggarakan Pemilu, kendati kup mungkin saja bisa diadakan. Namun, ada kemungkinan yang masuk akal Wiranto tidak melakukan kup karena ia sendiri tidak bisa memastikan dukungan TNI kepada dirinya. Soeharto pun dahulu, sejak 1965 – 1968 sangat berhati-hati dalam memastikan dukungan TNI kepada dirinya sebelum ia bersedia menggantikan Sukarno, tokoh yang masih cukup populer di Indonesia saat itu.

Juga, pada 1998 awal hingga akhir, basis kekuatan penting TNI yaitu dukungan rakyat berbeda dengan tahun 1966. Selain itu, TNI relatif terkotak-kotak oleh aneka faksi di dalam tubuh angkatan darat, belum lagi masalah di angkatan udara dan laut. Militer mengalami kekurangan dalam hal kohesivitas dan otonominya. Inilah yang membuat Wiranto tidak begitu yakin atas efektivitas kup. Adanya rakyat di belakang TNI inilah yang tidak ada di tahun 1998, berbeda dengan 1966. Akibat dari hal ini sungguh fatal. Militer sendiri menyatakan bahwa mereka akan ada di luar proses Pemilu 1999, kecuali apabila terjadi chaos nasional. Hingga Juni 1999 representasi militer di DPR menyusut dari 100, menjadi 75, dan akhirnya 38 (lalu di era Gus Dur, lenyap sama sekali). Hal ini sesungguhnya cukup disayangkan karena militer di DPR seharusnya dapat menjadi peninjau atau wasit potensial apabila di kemudian hari politisi sipil kembali saling ‘cakar-cakaran’ satu sama lain.

Sehubungan dengan reposisi TNI, sebuah upaya disusun oleh elit militer seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Hendropriyono, dan Wiranto. Sekurangnya 1 tahun sebelum 1998 mereka mulai merancang apa yang kemudian disebut Paradigma Baru TNI. Upaya ini mendapat dukungan di kemudian dari Agus Wirahadikusumah dan Agus Widjojo. Oposisi atas upaya ini direpresentasikan oleh Prabowo Subianto dan ia kalah dalam arus kecenderungan. Penggodogan konsep ini berlangsung di saat-saat akhir kekuasaan Soeharto, dan baru berani dimunculkan setelah Soeharto secara efektif mengundurkan diri sebagai presiden. Paradigma Baru ini cukup ahistoris apabila mengingat konsep middle way Nasution juga Seminar I dan II Angkatan Darat Indonesia (juga TNI).  

Paradigma Baru ini memuat hal-hal seperti pemisahan polisi dari angkatan bersenjata, mengakhiri keterlibatan TNI dalam hubungan politik lokal, mengubah jabatan Urusan Sosial dan Politik menjadi Urusan Teritorial, mengakhiri peran sosial politik TNI hingga tingkat desa, mengakhiri pengangkatan pejabat in duty TNI bagi posisi sipil di pusat dan daerah, menghilangkan pengaruh TNI dari politik sehari-hari, anggota TNI harus memilih apakah mau berkarir militer atau sipil, mengurangi (akhirnya menghilangkan) kursi yang dialokasikan bagi TNI di MPR, memotong hubungan dengan Golkar, juga bersikap netral dalam Pemilu dan politik. [12] 

Secara sepintas, Paradigma Baru ini terkesan ‘amat Barat’ hanya bagus di ideal, tetapi tidak di praktek. TNI Indonesia kini seperti disapih dari akar historisnya. Posisi politik TNI kini menjadi lemah, padahal merekalah salah satu tiang republik ini. Segera setelah Paradigma Baru ini dikumandangkan, Indonesia menjadi bulan-bulanan teroris, provokasi disintegrasi, dan mengaburnya batas negara. Berkali-kali Indonesia dikangkangi oleh terorisme internasional. Militer tidak bisa berbuat banyak, karena politisi sipil lebih ‘percaya diri’ jika bekerja sama dengan kepolisian ketimbang TNI.

Satu masalah dari reposisi TNI telah teridentifikasi, yaitu berkurangnya kekuatan pertahanan dalam negeri akibat serangan teroris global. Secara rasional, serangan teroris internasional adalah masalah pertahanan, bukan lagi sebatas keamanan. Seharusnya porsi militer lebih besar, baik anggaran maupun proyek penangkalannya. Namun, di era dominasi sipil militer seolah menjadi sekadar penonton yang tidak lagi bisa berbuat banyak. Masalah lain adalah perilaku parpol yang menjadi tidak terkontrol. Mereka mengembangkan oligarki di dalam tubuh dan mengembangkan kartelisme dalam penyusunan produk perundang-undangan. TNI tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi hal ini karena ketidakpaduan para perwira purnawirawan yang masih memiliki jaringan akses dengan perwira aktif. 

Begitu TNI dilepas dari jabatan-jabatan sipil pimpinan daerah, dan kepala daerah dipilih secara langsung, Indonesia dirubung oleh kasus mismanajemen daerah. Disiplin penggunaan anggaran kalangan sipil relatif lebih kacau ketimbang penggunaan anggaran sipil yang diadministrasi oleh unsur TNI seperti era lampau. Mulailah Indonesia selepas itu dibelenggu oleh dinasti politik sipil daerah ('raja-raja kecil') yang kurang bertanggung jawab. Dan menghadapi masalah ini, TNI tidak bisa berbuat banyak. Mereka sekadar menjadi pemirsa akibat kini mereka sudah tidak lagi punya kesempatan mengontrol perilaku politik kalangan sipil di parlemen. Paradigma Baru TNI yang disusun oleh SBY dan kawan-kawan tidak sepenuhnya mampu menjawab dampak hilangnya jalinan simbiosis mutualistik sipil-militer yang justru merupakan keunggulan dan keunikan bernegara di Indonesia.

Seolah menarik ucapan sendiri, SBY malah berpolitik dengan mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia dengan cara membangun partai politik. Kendati telah mundur dari dinas kemiliteran tentu saja jaringan patron-klien berlangsung. Sulit untuk ditutup kemungkinannya terjadi pelibatan patron perwira pensiun dengan perwira klien yang masih aktif. SBY tentu tahu bahwa dalam konsep “middle-way” yang ditolak oleh Paradigma Baru TNI juga termasuk kekaryaan. Kekaryaan ini secara substantif masih terus berlangsung melalui jaringan patron-klien antara perwira non aktif dengan aktif. Tidak ada pensiunan jenderal, hanya medan bakti saja yang berubah. 

Reposisi TNI juga membuat TNI sebagai sebuah lembaga cenderung terpecah-belah. Akibat hilangnya posisi mereka di MPR dan DPR, kompensasinya adalah elit militer menjadi petualang politik. Tidak ada organisasi induk yang mengontrol mereka. Mereka saling manfaat dan memanfaatkan dengan aneka politisi sipil. Di setiap Pilpres publik sesungguhnya tahu bahwa militer ada di mana-mana tetapi tidak padu. Hilangnya fungsi sosial-politik TNI membuat militer Indonesia terdisorientasi Padahal apabila pola middle-way tetap dibakukan secara lebih moderat, misalnya TNI tetap memegang posisi sebagai kades, lurah, camat, dan punya representasi politik di DPR dan MPR, maka keterpaduan langkah militer dalam menjamin stabilitas politik di Indonesia dan penetrasi kebijakan negara hingga unit terbawah diasumsikan tetap terpelihara.

Belajar dari kasus Thailand, maka TNI harus bisa menjadi organ yang independen dan otonom, dengan loyalitas hanya kepada negara. TNI harus menata independensi mereka dari pengaruh politisi sipil, memulihkan integritas awal mereka selaku ‘tentara rakyat’ bukan tentara politisi. Suksesnya revolusi fisik tentara 1945 – 1949 dan dukungan rakyat pada tentara awal Orde Baru adalah sejarah berharga yang perlu dipelajari. Saya cukup tertarik dengan peran tentara di Thailand yang mampu berposisi sebagai pengamat sekaligus pemain yang tidak memiliki keraguan. Tentara di sana berposisi sebagai tiang negara, berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak (kalau di Thailand, termasuk pengaman Monarki), dan metode ini baru bisa terselenggara apabila institusi TNI kita mampu memiliki "Wanjakti" independen, bukan ditentukan presiden yang berasal dari partai politik. 

Dengan sejumlah catatan tersebut di atas, militer berperan sebagai gantungan rakyat karena TNI  dipandang memiliki kemampuan untuk membangun dan memordernisasi kehidupan bangsa dan negaranya. Juga kepercayaan rakyat muncul karena TNI  dipercaya senantiasa membela kepentingan rakyat. Di era Orde Baru, ada konsep yang dinamakan ABRI Masuk Desa, dan kira-kira seperti itulah peran militer yang perlu direvitalisasi. Penjaga negara perlu dekat dengan yang dijaga. Namun, konsep semacam ini kehilangan momentum akibat penerbitan pikiran agar tergesa-gesa melalui Paradigma Baru TNI. Paradigma Baru TNI telah memangkas akar kekuatan bangsa ini yaitu penyelerasan kepentingan TNI dengan rakyat Indonesia. 


Penutup


Atas dasar seluruh argumen di atas, maka hal yang mencegah TNI kembali punya peran sosial politik di Indonesia adalah konsep Paradigma Baru TNI, yang kemudian melahirkan UU TNI dan UU Kepolisian Negara Republik Indonesiaa. Sekurangnya ada empat pendorong keterlibatan kembali TNI ke dalam politik.

Pertama, arah kebijakan negara yang kurang jelas dan padu antar pemerintahan. Rencana pembangunan Indonesia jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang hanya jadi permainan elit sipil yang paling banter memerintah 5 tahun (atau paling panjang 10 tahun). Tidak ada organ khusus yang memantau kesinambungan rencana-rencana kerja antar pemerintahan. MPR sendiri adalah wakil partai politik, yang diisi individu politisi dengan masa jabatan 5 tahunan. Pada sisi lain, TNI adalah organ inheren yang terus menerus ada dan pasti menyaksikan ‘centang-perenang’ program kerja antara politisi sipil satu dengan penggantinya. Upaya pemantauan ini ketimbang diserahkan kepada politisi sipil di MPR yang hanya taat pada parpolnya adalah lebih baik diberikan kepada institusi militer.

Kedua, tidak ada jaminan apabila militer berpolitik secara baju sipil, maka militer akan berperan maksimal. Militer adalah militer, dan seragamnya adalah loreng tempur. Sepuluh tahun seorang ‘eks’ militer memerintah Indonesia dengan baju sipil, apa yang telah dihasilkan bagi negeri ini? Itu akibat militer tidak memiliki kekuatan kontrol. Mereka telah dikotak-kotak dan tidak memiliki kepercayaan diri. Akibatnya, insitusi militer rentan dipimpin oleh kepanjangan tangan politisi sipil yang kepentingannya selalu berubah apabila personnya juga berubah.

Ketiga, koalisi sipil di eksekutif yang kerap pecah dan terdisorientasi akibat terlalu banyaknya parpol. Ini merupakan concern dari militer sekaliber Nasution yang bahkan berani memberi jaminan kepada Sukarno untuk membekukan parlemen dan mendeklarasikan martial law, atau sebelumnya mendukung Bambang Subeno mengarahkan meriam ke Istana Negara akibat kebijakan rasionalisasi tentara oleh politisi sipil. Negara harus bergerak ke suatu arah yang jelas, dan para elit militer aktif tentu semua sudah belajar bagaimana menyusun suatu program.

Keempat, wilayah-wilayah remote dan perbatasan dengan negara lain yang sangat rentan intrusi pengaruh agen dan pemerintah asing. Selama Orde Baru ini hampir bukan masalah karena tentara hadir hingga tingkat desa. Namun, pasca 1998 masalah ini jadi begitu luar biasa. Ini akibat TNI telah dipasifkan sebagai organisasi yang punya andil dalam berdirinya republik ini. Sebenarnya, ini merupakah pertaruhan besar bagi kedaulatan wilayah Indonesia. 

Hambatan kembalinya militer untuk lebih berperan aktif dalam politik Indonesia adalah kepercayaan diri secara institusional, untuk berani adu argumentasi dengan politisi sipil. Pertama, ini muncul akibat ketergesaan Paradigma Baru TNI akibat tekanan publik dan pers asing. Ini tidak bisa dianggap remeh karena politik ini akan selalu dijadikan dalih bahwa TNI telah merevisi eksistensinya secara otokritik.  Namun, hal ini dapat saja memiliki implikasi berbeda. Dengan reposisi tersebut justru TNI dapat berposisi politik secara lebih obyektif sehingga langkah apapun yang mereka ambil dalam mengintervensi politik sipil justru dapat disebut profesionalitas dan fair play. 

Kedua, militer membiarkan diri mereka ada di bawah pengaturan sipil yang ternyata kurang kompeten. Politisi sipil kendati banyak melakukan malpraktek bernegara, selalu lepas dari teguran dan ancaman militer. Ketiga, institusi militer tidak memiliki independensi maksimal, sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek para politisi sipil, terutama presiden yang notabene adalah unsur dari suatu partai politik dan rentan hubungan dengan pengusaha. Keempat adalah UU TNI dan UU Polri yang membuat militer harus membuat kajian khusus mengenai posisi mereka di dalam republik ini.

Bagian ke-2 dari 2 artikel. 




Catatan Kaki

[9] Kingsbury, p. 12.

[10] O. G. Roeder, The Smiling …, op.cit. p. 137.

[11] Kingsbury, p. 163.

[12] ibid, p. 173.