Sistem politik negara yang satu berbeda dengan negara lainnya. Sejumlah penulis menyuguhkan klasifikasi (bahasanya: tipologi) sistem politik yang berbeda-beda berdasarkan dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari pembuatan tipologi mereka.

Upaya melakukan pentipologian sistem politik yang sifatnya klasik dilakukan Tom Bottomore. Ia membagi tipologi sistem politik ke dalam lima jenis, di mana epistemologi yang ia gunakan berlangsung dalam aras sosiologis yang terdiri atas: [1]
  1. Masyarakat primitif, yang terbagi atas: (a) sistem politik tanpa adanya struktur politik yang bersifat khusus dan permanen, dan (b) sistem politik dengan adanya struktur politik yang bersifat khusus dan permanen, tetapi operasinya sangat dipengaruhi faktor kekerabatan dan agama.
  2. Negara-negara kota (di zaman Yunani, misalnya);
  3. Kekaisaran yang terbangun atas negara-negara Kota;
  4. Negara-negara Asiatik dengan birokrasi yang tersentralisasi; dan
  5. Negara-negara Bangsa, yang terdiri atas: (1) negara demokratis modern, dan (2) negara totalitarian modern.

Penerawangan Bottomore bersifat evolutif, di mana ia berupaya mengidentifikasi sistem politik yang berlaku dari tingkat suku-suku primitif hingga negara-negara modern. Kajian Bottomore ini bermanfaat jika seorang peneliti hendak melakukan kajian atas sejarah sistem politik atau studi historiografi sistem politik.

Tipologi lain diajukan oleh Dickerson, Flanagan, and O’Neill yang membagi sistem politik ke dalam tiga bentuk dasar yaitu: (1) Demokrasi liberal; (2) Demokrasi transisional; dan (3) Otokratik yang terbagi atas (a) otoritarian dan (b) totalitarian.[2] 

Demokrasi liberal adalah sistem pemerintahan di mana warganegara memerintah diri mereka sendiri, baik langsung (direct democracy) maupun tidak langsung (representative democracy), dan seluruhnya patuh pada aturan main seperti tercantum di dalam konstitusi.[3] Demokrasi transisional adalah kondisi di mana struktur dan fungsi politik demokrasi secara formal telah berdiri, tetapi secara kultural para penyelenggara (pemimpin dan warganegara) relatif masih menggunakan kultur sistem politik sebelumnya, atau dalam konsep kebudayaan disebut cultural lag

Otokratik adalah sistem politik di mana salah satu struktur politik cenderung dictating atau mendikte struktur politik lain, di mana ia bercorak otoritarian jika dictating dilakukan satu personal (misalnya Filipinan di masa Ferdinand Marcos) atau totalitarian jika dictating dilakukan oleh sebuah lembaga (misalnya junta militer, partai Nazi di Jerman masa Hitler, atau partai-partai komunis di Uni Soviet ataupun Korea Utara).

Jenis Sistem Politik
Sumber Foto:
http://www.outlookafghanistan.net/topics.php?post_id=17546

Dalam Encyclopedia of Government and Politics, Mary Hawkesworth and Maurice Kogan membagi tipe sistem politik menjadi 4 jenis, yaitu: (1) Demokrasi Liberal; (2) Sistem Komunis dan Post-Komunis; (3) Rezim Otoritarian Kontemporer; dan (4) Kediktatoran Militer.[4] Keempat tipe sistem politik ini memiliki ciri yang tentu saja tidak sama persis ketika diperhadapkan dengan realitas, tetapi memiliki kegunaan untuk memberi penjelasan umum. 

Demokrasi Liberal merupakan sebuah sistem politik yang ditandai dengan adanya bargaining (tawar-menawar) yang tegas antara warganegara dengan pemerintahnya.[5] Pemerintah hanya dapat memerintah selama itu tidak melupakan kesepakatan yang sudah dibuat dengan warga negara. Kesepakatan tersebut ada di dalam konstitusi. Sistem politik juga mengizinkan berdirinya partai-partai politik yang saling berkompetisi ---sesuai kesepakatan antara mereka sendiri--- di dalam pemilu periodik.

Komunis dan Post-Komunis merupakan sebuah sistem politik yang ditandai oleh empat faktor, yaitu: (1) Negara mendasarkan diri pada ideologi resmi, yaitu Marxisme-Leninisme; (2) Sistem ekonomi ditandai oleh ketiadaan pemilihan pribadi, inovasi ekonomi tersentralisir; (3) Negara diperintah oleh satu partai, atau sekurangnya satu partai yang dominan dengan sistem sentralisme demokratik; dan (4) Organisasi-organisasi yang ada di dalam negara dikontrol secara langsung oleh negara.[6]

Hingga tahun 1989, terdapat sekurangnya 25 negara yang menggunakan sistem politik Komunis, di antaranya adalah: Afghanistan, Albania, Angola, Benin, Bulgaria, Kamboja (hingga 1989), China (RRC), Kongo, Kuba, Cekoslowakia, Jerman Timur, Ethiopia, Hungaria, Korea Utara, Laos, Mongolia, Mozambik, Polandia, Rumania, Yaman Selatan, Uni Sovyet, Vietnam, dan Yugoslavia. Setelah 1989 kini tinggal empat negara saja yang masih menganut sistem tersebut, yaitu Cina (RRC), Kuba, Korea Utara, dan Vietnam.

Negara-negara bekas komunis (post-komunis) menjadi salah satu kategori tersendiri oleh sebab mereka menghadapi dilema antara membentuk sistem politik baru (misalnya demokrasi liberal atau otoritarian kontemporer), atau kembali ke masa lalu, yaitu sistem politik komunis. Contoh dari negara-negara seperti ini adalah Rusia, Ukraina, Latvia, Serbia, Kroasia, Kazakhstan, Turkmenistan, Uzbekistan, Azerbaijan, Tajikistan, Moldavia, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Albania, Macedonia, Rumania, Polandia, Hungaria, Georgia, Lithuania, Estonia, ataupun Republik Ceko. Negara-negara ini kini tengah berada dalam fase demokrasi transisional. Turkmenistan misalnya, ternyata malah masuk ke dalam kategori otoritarian kontemporer di mana personalitas seorang presiden lebih kuat ketimbang sistem.

Otoritarian kontemporer adalah rezim yang biasanya berdiri setelah kegagalan demokrasi liberal. Rezim otoritarian mengambil kekuasaan setelah kondisi negara mengalami kebuntuan politik, kemerosotan ekonomi, konflik, dan sejenisnya. Rezim otoritarian kontemporer tetap mengakui kemajemukan politik, tetapi sifatnya terbatas. Demikian pula, organisasi-organisasi masyarakat sipil tetap boleh berdiri, akan tetapi tetap diawasi secara penuh oleh pemerintah.[7]

Kediktatoran militer adalah junta militer yang mengambil alih kekuasaan negara melalui coup d’etat secara militer, untuk selanjutnya memerintah tanpa batas waktu yang ditentukan dan bergantung pada seberapa besar dukungan yang diberikan angkatan perang kepadanya. [8] Contoh negara yang menerapkan kediktatoran militer adalah Myanmar dan Pakistan di bawah pimpinan Jenderal Pervez Musharraf. Kediktatoran militer umumnya bersifat temporer karena militer biasanya kembali menyerahkan kekuasaan kepada kelompok sipil jika situasi politik mencapai tingkat stabilitas yang aman.

Catatan Kaki

[1] Tom Bottomore seperti dikutip oleh Herbert Victor Wiseman, Political Systems: Some Sociological Approaches (London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1967) p.49.

[2] Mark O. Dickerson, Thomas Flanagan, and Brenda O’Neill, An Introduction to Government and Politics: A Conceptual Approach (Toronto: Nelson Education, Ltd., 2010) p. 232.

[3] ibid., p. 237.

[4] Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia of Government and Politics, (London: Routledge, 1992).

[5] G. Bingham Powell, Liberal Democracy dalam ibid., p. 195-210.

[6] Leslie Holme, Communist and Post-Communist Systems dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia ... op.cit., p.215-27.

[7] Robert Wesson, Politics: Individual and State, (New Jersey: Prentice Hall, 1988) p. 65-90.

[8] Talukder Maniruzzaman, Military Dictatorships dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia of Government ..., op.cit., p. 247-61.